Berbagai produk air minum dalam kemasan yang melenggang di pasar boleh dibilang serupa tapi tak sama. Serupa isinya namun acap kali lain mutunya. Tak mudah memang membedakan mutunya kalau cuma selintasan. Setidaknya, tulisan berikut bisa membantu Anda.
Anda percaya kalau kita sebenarnya pantas disebut "makhluk air"? Kalau mau hitung-hitungan persis, manusia normal membutuhkan air berkisar 2,1 liter s/d 3,4 liter per hari. Tidak sekadar menjawab rasa haus, air yang kita konsumsi harus memenuhi kebutuhan tubuh akan cairan intraselular dan ekstraselular. Sesuai namanya, yang intraselular adalah cairan di dalam sel yang memungkinkan sel berfungsi. Sedangkan yang ekstraselular merendam sel-sel, mengalirkan nutrisi, sel, dan produk buangan melewati jaringan-jaringan dalam tubuh.
Bumi sebenarnya menyediakan banyak sekali sumber air. Ada air permukaan (sungai, danau, laut), air angkasa (air hujan, salju) ada pula air tanah (ada air tanah dangkal, selain yang dalam). Hanya saja, tak beda dengan produk yang berjajar di toko, masing-masing mempunyai kualitasnya sendiri. Yang paling rentan pencemaran, ya, air permukaan. Namun, gara-gara masalah lingkungan, air tanah dangkal pun ikutan terimbas polutan.
Awas, produsen nakal
Padahal penduduk yang tidak terakomodasi air PAM dengan sendirinya lari ke air tanah dangkal ini. Bagaimana pula? Memang mengesalkan tapi fakta berbicara, air bening belum tentu sehat. Mineral yang dibutuhkan bagi kesehatan tubuh itu, dalam kadar yang tidak pas bisa menjadi malapetaka. Sebagai contoh, kandungan mangan (Mn) yang pas berguna dalam mengaktifkan sejumlah enzim dalam tubuh, namun kandungan di atas 0,5 mg/l dapat menyebabkan rasa aneh, meninggalkan noda kecoklatan pada cucian, dan yang paling gawat, dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Seng (Zn) dalam jumlah kecil merupakan unsur penting dalam metabolisme sehingga kalau anak kekurangan seng, pertumbuhannya bisa terhambat. Namun, terlalu banyak seng akan menyebabkan rasa pahit dan sepet pada air minum.
Jadi, tak heran kalau kebutuhan akan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) sudah tercipta dan berhasil terpelihara sampai sekarang. Konsumsinya dari tahun ke tahun terus menanjak. Dari 4,18 miliar liter di tahun 1999 merambat terus hingga 5 miliar liter di tahun 2000. Mengingat tingkat konsumsi itu dibandingkan dengan orang Eropa masih sepersepuluhnya, peluang tumbuhnya jelas masih terbuka lebar.
Adanya demand yang disambut oleh supply sebenarnya wajar-wajar saja. Sayang sekali, industri yang sedang sumringah ini belakangan belum menunjukkan tanda-tanda telah tertata dengan baik. Salah satu yang mengintip sebagai indikasi, misalnya, dari 270 perusahaan AMDK yang terdaftar di Deperindag (meski yang berproduksi baru 150-an), yang menjadi anggota Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) baru 70 perusahaan. Kenapa gerangan?
"Perusahaan-perusahaan yang nakal tidak mau bergabung dengan kami," jawab Wakil Ketua Umum Aspadin, Willy Sidharta. Meski tidak tegas-tegas memberlakukan peraturan, apalagi keanggotaannya bersifat sukarela, ada kode etik bagi anggota asosiasi. Taruhlah dalam hal tata cara berusaha, juga penerapan Good Manufacturing Practice (GMP).
Tentu saja itu usaha yang bagus. Belum lama ini Aspadin melaporkan kasus temuan mereka kepada Deperindag tentang perusahaan AMDK yang menjual produknya tanpa kemasan. Konsumen datang ke depo mereka dengan membawa botol kemasan bekas dari merek apa saja, untuk diisi ulang. Sangat menguntungkan, karena menghapus ongkos yang mestinya mencakup 75 - 85% dari seluruh biaya produksi. Tapi apakah pengemasan dengan cara demikian bisa terjaga sterilitasnya? Lalu bila ada masalah, siapa yang harus bertanggung jawab?
Padahal Keputusan Menperindag no. 167/1997 telah memberikan definisi yang jelas mengenai AMDK, yaitu air yang telah diolah dan dikemas serta aman untuk diminum. Terhadap produk-produk yang kurang terjaga keamanannya ini, seharusnya ada pengawasan.
Hanya saja, seperti yang dikeluhkan oleh Willy Sidharta, pengawasan itu masih kurang terkoordinasi. Alangkah idealnya, begitu ia berharap, "Kalau ada sebuah badan yang mencakup semua unsur yang berkepentingan dalam industri ini: ya pemerintah, ya konsumen, pun dari asosiasi industri. Dengan demikian, segala peraturan yang sudah baik akan terimplementasi dengan baik pula."
Awas, bau!
Sementara itu kita sebagai konsumen mau tak mau mesti pandai-pandai bersilat melindungi diri dari produk-produk bermasalah. Untuk menyebut contoh, pada produk yang semestinya bening, tak berasa, tak berbau ini terkadang ditemukan "pasir" berwarna hitam, atau putih, atau algae (ganggang) juga berbau. Pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang tahun lalu menerima sembilan pengaduan produk AMDK dari merek berbeda-beda (sebagian besar menyangkut kualitas air), menuding masalah metode penyimpananlah kemungkinan penyebabnya.
"Banyak botol kemasan AMDK menggunakan bahan plastik poliakrilat, bahan yang sangat tidak tahan panas dan mudah menyerap bau. Oleh karena itu cara paling ideal menyimpan AMDK adalah di tempat sejuk yang terlindung dari matahari dengan suhu di bawah suhu kamar," ujarnya Ilyani S. Andang, dari Bagian Penelitian YLKI. Namun, ia menyayangkan, soal metode penyimpanan belum diatur dalam peraturan pemerintah.
Boro-boro soal metode penyimpanan, soal tanggal kedaluwarsa saja, yang jelas-jelas merupakan keharusan menurut Undang-Undang no. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen di bawah judul Label Pangan, dalam berbagai tingkatan belum sepenuhnya ditaati. Ada yang mengaku telah mencantumkan kode produksi, "Dan itu berarti tanggal kedaluwarsanya dua tahun setelah itu," namun tak langka pula produk-produk "gerilya" yang mencantumkan kode sulap yang sulit dipahami konsumen.
Kepada kita yang menemukan kasus-kasus AMDK seperti ini, apalagi bila sampai mengalami mules, misalnya, yang diduga akibat mengkonsumsi AMDK, Ilyani mengimbau agar jangan ragu melaporkannya kepada YLKI atau Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), dengan membawa bukti produk yang dicurigai telah tercemar.
Bau dari luar ternyata bisa menyusupi kemasan AMDK. Kalau tidak percaya, cobalah simpan AMDK di dekat buah durian, minyak tanah, atau kamfer. Kasus kamfer ini memang pernah terjadi. "Akibatnya, terbentuk kristal-kristal di dalam air," tutur Anna Djati Susanti dari bagian Penelitian & Pengembangan Aqua.
Pengaruh panas matahari
Namun, bahwa plastik bisa berpengaruh terhadap AMDK ternyata tidak sepenuhnya disetujui oleh Prof. dr. Juli Soemirat Slamet, MPH., Ph.D. dari Laboratorium Kesehatan dan Toksikologi Industri Institut Teknologi Bandung. Botol kemasan AMDK bahkan terbukti bisa dijadikan alat sterilisasi air minum yang sederhana. Ini pernah dipraktikkan dalam sebuah proyek Depkes di tahun 1990-an, yang dibiayai Bank Dunia di mana ia aktif di dalamnya. Di enam propinsi di Sulawesi, penduduk desa terpencil yang kesulitan air dianjurkan memanfaatkan botol kemasan AMDK untuk mensterilkan air minum. Caranya, botol berisi air tanah itu dimasukkan ke dalam plastik kresek hitam (warna yang menyerap panas), lalu dijemur di atas atap rumah tanpa batasan waktu tertentu. Air minum yang dihasilkan cukup baik.
Juli sama sekali menepis kemungkinan pencemaran AMDK akibat adanya zat dari kemasan yang terlarut. Kemungkinan itu tidak ada, selama prosesnya menggunakan ozon atau UV (ultraviolet). "Itu 'kan proses dingin. Jadi, airnya tidak mudah melarutkan senyawa dalam plastik kemasan. Tapi kalau airnya panas, mungkin saja terjadi pelarutan senyawa kemasan. Lagi pula, kalau air dan kemasannya sudah bersih dari berbagai bahan pengotor, termasuk algae, kualitasnya tidak akan menurun sekalipun terkena sinar matahari," katanya.
Ia tidak menolak kemungkinan terjadinya reaksi pada zat plastik kemasan akibat panas. Namun, untuk terjadinya proses reaksi pada plastik, selain panas yang cukup juga dibutuhkan derajat keasaman yang cukup. Padahal, pH (derajat keasaman) AMDK itu netral. Kecil sekali kemungkinan, panas matahari, yang paling-paling menaikkan suhu air sampai 40oC akan menimbulkan reaksi pada plastik kemasan. Kalaupun setelah kena panas matahari timbul algae, ia mempertanyakan apakah itu bukan tanda bahwa sebelumnya produk AMDK itu sudah terkontaminasi?
Penuturan dr. Juli Soemirat ternyata dibenarkan oleh Willy Sidharta, yang juga Presdir PT Aqua Golden Mississippi Tbk. Diakuinya, peringatan untuk menjauhkan dari sinar matahari itu hanya bersifat berjaga-jaga terhadap kondisi ekstrem. Bahkan diakuinya, banyak pengecer produknya di warung kaki lima "menjemur" produknya, namun karena dalam jangka waktu 2 s/d 3 hari biasanya sudah terjual, ya, tidak ada masalah. Namun, untuk jangka panjang ia meyakini, tetap saja kemasan plastik bisa berpengaruh pada produk AMDK.
Air tanah dalam (air artesis) diambil dari sumber air jauh di dalam tanah. Air artesis ini mengandung pelbagai mineral, tergantung formasi yang dilaluinya. Karenanya dia disebut air mineral. Secara mikrobiologis, harusnya air artesis juga bersih dari mikroba. Bila proses penangkapan, pengolahan, dan pewadahannya saniter, kualitasnya tidak akan berubah. Selain itu ada yang disebut spring water (sering disebut mata air), yaitu air yang benar-benar berasal dari aquifer (lapisan batuan penyimpan air), sehingga tak mungkin terkontaminasi oleh bahan lain.
Namun, mengingat banyaknya produk asal jadi (termasuk kasus-kasus pemalsuan, bila benar ada) bisa saja suatu produk AMDK tidak diproses sebagaimana mestinya, sehingga ia belum bebas bakteri dan kemasannya tidak hampa udara. Maka kalau ada AMDK yang kemasannya menggembung, dapat dipastikan di dalamnya sudah ada gas dan mestinya juga pencemaran. Betapa pun, hati-hati agaknya menjadi kata kunci bagi para konsumen AMDK.
#dari: intisar
Posting Komentar